Aliran Progressivisme
Aliran
Progressivisme, progress (maju) adalah sebuah faham filsafat yang lahir
dan sangat berpengaruh dalam abad ke-20. Aliran filsafat ini kelahiran Amerika
dan pengaruhnya terasa di seluruh dunia yang mendorong usaha pembaharuan di
dalam lapangan pendidikan.
Dalam
banyak hal aliran progressivisme identik dengan pragmatisme. Apabila orang
menyebut pragmatisme, maka berarti progressivisme, begitu pula sebaliknya.
Tokoh-tokoh aliran progressivisme/pragmatisme diantaranya William James, John
Dewey, Hans Vaillinger, Ferdinand Schiller dan George Santayara.
Pada
dasarnya aliran ini memandang bahwa pendidikan adalah sebagai wadah untuk
menjadikan anak didik yang memiliki kualitas dan terus maju (progress) sebagai
generasi yang akan menjawab tantangan zaman peradaban baru. Melalui
pandangannya ”The Liberal Road Culture”, maksudnya ialah pandangan hidup
yang mempunyai sifat-sifat fleksibel, curious, toleran dan open-minded,
serta menolak segala otoritarisme dan absolutisme seperti yang terdapat dalam
agama, politik, etika dan epistemologi. Dan pandangannya tentang menaruh
kepercayaan terhadap kekuatan alamiah dari manusia yang diwarisi sejak lahir (men’s
natural powers), sehingga manusia merupakan makhluk biologis yang utuh dan
menghormati harkat dan martabat manusia sebagai pelaku/subyek di dalam
hidupnya. Dengan pandangan-pandangannya tersebut, aliran progressivisme
memiliki kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, yang meliputi : ilmu hayat
(manusia untuk mengetahui semua masalah kehidupan), antropologi (manusia
mempunyai pengalaman, pencipta budaya, dengan demikian dapat mencari hal baru),
psikologi (manusia akan berpikir tentang dirinya sendiri, lingkungan dan
pengalaman-pengalamannya, dan dapat menguasai serta mengatur sifat-sifat alam).
Aliran
progressivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia pendidikan pada
abad ke-20. Di dalam dunia pendidikan progressivisme banyak meletakkan tekanan
dalam masalah kebebasan dan kemerdekaan anak didik baik secara physic
maupun dalam tata berpikir. Oleh karena itu aliran progressivisme tidak
menyetujui pendidikan yang otoriter, sebab akan mematikan tunas-tunas para
pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang gembira dalam menghadapi
pelajaran dan sekaligus akan mematikan daya kreasi baik secara fisik maupun
psikis anak didik.
John
Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan sosialisasi. Artinya
pendidikan sebagia proses pertumbuhan dan proses bagi anak didik sehingga dapat
mengambil pelajaran dari setiap kejadian dan pengalaman di lingkungan
sekitarnya. Maka dari itu dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu
dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja.
Jadi
sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan
lingkungan sekitar. Inilah tujuan umum pendidikan menurut John Dewey dalam
bukunya “Democracy and Education”. Isi pendidikannya lebih mengutamakan
bidang-bidang seperti pengetahuan alam, sejarah, keterampilan, serta hal-hal
yang berguna serta langsung dirasakan oleh masyarakat. Metode scientific
lebih diutamakan dan dipentingkan, dan bukan metode memorisasi. Praktek kerja
di laboratorium, bengkel, kebun (lapangan) merupakan kegiatan yang dianjurkan
menurut aliran progressivisme dalam rangka terlaksananya “Lerning By Doing”.
Progressivisme
menghendaki jenis kurikulum yang terbuka dan fleksibel, jadi kurikulum tersebut
bisa dirubah dan dibentuk sesuai dengan zamannya. Kurikulum dipusatkan pada
pengalaman atau kurikulum eksperimental didasarkan atas manusia dalam hidupnya
selalu berinteraksi di dalam lingkungan yang komplek, sehingga ia memerlukan
kemampuan beradaptasi dengan lingkungan demi kelestarian hidupnya dan
perkembangan pribadinya. Oleh karena itu manusia harus belajar dari pengalaman.
Pengalaman-pengalaman itu diperoleh sebagai akibat dari belajar. Anak didik
yang belajar di sekolah akan mendapatkan pengalaman-pengalaman dari lingkungan,
di sekolah akan mendapatkan pengalaman-pengalaman yang dapat diterapkan sesuai
dengan kebutuhan umum.
Aliran
ini tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan secara terpisah,
melainkan harus terintegrasi dalam unit. Dengan demikian kurikulum
eksperimental mengandung ciri integrated curriculum, metode yang
diutamakan yaitu metode problem solving.
John
Dewey telah mengemukakan dan menerapkan metode problem solving ke dalam
proses pendidikan, melakukan perubahan atau inovasi dari bentuk pengajaran
tradisional di mana adanya verbalisme pendidikan. Di sini anak didik dituntut
untuk dapat memfungsikan akal dan kecerdasannya dengan jalan dihadapkan pada
materi-materi pelajaran yang menantang siswa untuk terlibat aktif dalam proses
belajar mengajar. Siswa dituntut dapat berpikir ilmiah seperti menganalisa,
melakukan hipotesa dan menyimpulkannya dan penekanannya kepada kemampuan
intelektualnya.
W.H.
Kilpatrik (yang mengembangkan metode problem solving) mengemukakan
tentang kurikulum yang dianggap baik terdiri dari :
·
Kurikulum
harus dapat meningkatkan kualitas anak didik sesuai dengan jenjang pendidikan.
·
Kurikulum
yang dapat mengubah perilaku anak didik menjadi kreatif, adaptif dan mandiri.
·
Kurikulum
yang sanggup membina dan mengembangkan potensi anak didik.
·
Kurikulum
bersifat fleksibel dan berisi tentang berbagai macam bidang studi.
Melalui
proses pendidikan dengan menggunakan kurikulum yang bersifat integrated
curriculum, metode lerning by doing dan metode problem solving
diharapkan anak didik menjadi maju (progress), mempunyai kecakapan
praktis dan dapat memecahkan masalah sosial sehari-hari dengan baik.
1.
2.
Aliran Essensialisme
Essensialisme
–essensi (pokok)- merupakan aliran yang memandang terhadap pendidikan
harus didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal
peradaban manusia. Aliran ini berpedoman pada peradaban sejak zaman
Renaissance. Pada zaman Renaissance telah berkembang dengan megahnya
usaha-usaha untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan kesenian serta
kebudayaan purbakala, terutama di zaman Yunani dan Romawi. Dalam zaman
Renaissance muncul tahap-tahap pertama dari pemikiran essensialis yang
berkembang selanjutnya sepanjang perkembangan zaman Renaissance itu sendiri.
Pada zaman modern sekarang ini dikembangkan lagi oleh para pengikut dan
simpatisan ajaran aliran filsafat tersebut, sehingga menjadi aliran filsafat
yang teguh berdiri sendiri, yang mempunyai ciri-ciri utama yang berbeda dengan
aliran progressivisme.
Perbedannya
yang utama adalah memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh
fleksibilitas, di mana serba terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada
keterkaitan dengan doktrin tertentu. Essensialisme memandang bahwa pendidikan
harus berpijak pada nilai-nilai yang memilki kejelasan dan tahan lama, yang
memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang tertata dan jelas.
Paham
filsafat idealisme Plato dan paham filsafat idealisme Aristoteles adalah dua
aliran pikiran yang membentuk konsep-konsep berpikir golongan essensialisme.
Jadi pandangan filsafat essensialisme meramu dan menampung kedua aliran
filsafat itu (tetapi tidak lebur jadi satu dan tidak melepaskan sifat yang
utama pada masing-masing), yang kemudian mereka terapkan pula dalam bidang
pendidikan.
Essensialisme
didasari atas pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang
mengarah keduniawian, serba ilmiah dan materialistik. Selain itu juga diwarnai
oleh pandangan-pandangan dari paham penganut idealisme yang bersifat spiritual
dan realisme yang titik berat tujuannya adalah mengenai alam dan dunia fisik.
Adapun beberapa tokoh utama yang berperan dalam penyebaran essensialisme, yaitu
:
·
Desiderius
Erasmus (akhir abad 15)
·
Johan
Amos Comenius (1592-1670)
·
John
Locke (1632-1704)
·
Johan
Heinrich Pestalozzi (1746-1827)
·
Johan
Friedrich Frobel (1782-1852)
·
Johan
Friedrich Herbert (1776-1841)
·
William
T. Harris (1835-1909)
Pada
tahun 1930 telah didirikan suatu organisasi bernama “Essentialists Committee
for Advancement of Education”, dalam rangka mempertahankan paham
essensialisme, khususnya dari persaingan dengan aliran progressivisme. Dan pada
tahun 1950-an, di Amerika didirikan sebuah organisasi yang disebut dengan dewan
untuk pendidikan dasar (council for basic education) yang merupakan
jawaban terhadap apa yang dirasakan oleh sebagian para ahli pendidikan, dengan
adanya kecurangan-kecurangan yang terjadi berangsur-angsur dalam tubuh
pendidikan Amerika, disebabkan timbulnya yang disebut “pendidikan progressive”.
Tujuan
umum aliran progressivisme adalah membentuk pribadi bahagia dunia dan akhirat.
Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mempu
menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum yang digunakan di sekolah bagi
essensialisme merupakan semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai
ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan. Maka dalam sejarah perkembangannya,
kurikulum essensialisme merupakan bagian pola kurikulum, seperti pola
idealisme. Butler mengemukakan bahwa sejumlah anak untuk setiap angkatan baru
haruslah dididik untuk mengetahui dan mengagumi kitab suci, sedangkan Demih
Kevich menghendaki agar kurikulum berisikan moralitas yang tinggi. Ataupun pola
kurikulum realisme, yang mengumpamakan kurikulum sebagai balok-balok yang
disusun dengan teratur satu sama lain yaitu disusun dari paling sederhana
sampai kepada yang komplek. Susunan ini dapat diutarakan ibarat sebagai susunan
dari alam, yang sederhana merupakan fundamen atau dasar dari susunannya yang
paling komplek. Jadi bila kurikulum disusun atas dasar pikiran yang demikian
akan bersifat harmonis. Dengan demikian, peranan sekolah dalam menyelenggarakan
pendidikan bisa berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip dan kenyataan sosial
yang ada di masyarakat.
1.
3.
Aliran Perennialisme
Perennialisme
diambil dari kata perennial, yang artinya kekal atau abadi. Dari makna
yang terkandung dalam kata itu, aliran perennialisme mengandung kepercayaan
filasafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal
abadi. Aliran filsafat ini termasuk pendukung yang kuat dari filsafat
essensialisme. Pendiri utama dari filsafat ini adalah Aristoteles yang kemudian
didukung dan dilanjutkan oleh Thomas Aquinas, sebagai reformer utama pada abad
ke-13.
Dengan
melihat kehidupan zaman modern telah menimbulkan banyak krisis, di bidang
kehidupan umat manusia. Untuk mengatasi krisis ini, perennialisme memberikan
jalan keluar berupa “regressive road to culture”. Oleh sebab itu
perennialisme memandang penting peranan pendidikan dalam proses mengembalikan
keadaan manusia zaman modern ini kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap
cukup ideal, untuk supaya sikap yang membanggakan kesuksesan dan memulihkan
kepercayaan pada nilai-nilai asasi masa silam.
Asas-asas
filsafat perennialisme bersumber pada dua filsafat kebudayaan, yaitu
perennialisme theologis, yang ada dalam pengayoman supremasi gereja Katolik,
khususnya menurut ajaran dan interpretasi Thomas Aquinas, dan perennialisme
sekuler, yakni yang berpegang teguh pada ide dan cita filosofis Plato dan
Aristoteles.
Pandangan-pandangan
Thomas Aquinas sangat berpengaruh dalam lingkungan gereja Katolik. Demikian
pula dalam pandangan-pandangan aksiomatis lain seperti yang diutarakan oleh
Plato dan Aristoteles. Selain itu juga semuanya mendasari konsep filsafat
pendidikan perennialisme.
Di
bidang pendidikan, perennialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokohnya seperti
Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas. Dalam hal ini, pokok pikiran Plato
tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah menifestasi daripada hukum yang
universal, yang abadi dan sempurna, yakni ideal. Sehingga ketertiban sosial
hanya akan mungkin bila ide itu menjadi ukuran, asas normatif dalam tata
pemerintahan. Maka tujuan utama pendidikan ialah membina pemimpin yang sadar
dan mempraktekkan asas-asas yang normatif itu dalam semua aspek kehidupan.
Menurut
Plato, manusia secara kodrati memiliki tiga potensi, yaitu nafsu, kemauan dan
pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada ketiga potensi tersebut dan
kepada masyarakat, agar supaya kebutuhan yang ada pada setiap lapisan
masyarakat bisa terpenuhi. Ide-ide Plato itu dikembangkan oleh Aristoteles
dengan lebih mendekatkan pada dunia kenyataan. Bagi Aristoteles tujuan
pendidikan adalah kebahagiaan.
Untuk
mencapai pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi, dan intelek harus
dikembangkan secara seimbang.
Seperti
halnya prinsip-prinsip Plato dan Aristoteles, tujuan pendidikan yang
dikehendaki Thomas Aquinas adalah sebagai usaha untuk mewujudkan kapasitas yang
ada dalam individu agar menjadi aktivitas, aktif dan nyata. Dalam hal ini
peranan guru adalah mengajar (memberi bantuan pada anak didik untuk
mengembangkan potensi-potensi yang ada pada diri anak didik).
Prinsip-prinsip
pendidikan perennialisme tersebut, perkembangannya telah mempengaruhi sistem
pendidikan modern, seperti pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah,
perguruan tinggi dan pendidikan orang dewasa.
1.
4.
Aliran Rekonstruksionisme
Kata
rekonstruksionisme dalam bahasa Inggris “rekonstruct”, yang berarti
menyusun kembali. Dalam konteks pendidikan, aliran ini adalah suatu aliran yang
berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan
yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan
aliran perennialisme, yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan modern.
Walaupun
demikian, prinsip yang dimiliki aliran rekonstruksionisme tidaklah sama dengan
prinsip yang dipegang perennialisme. Keduanya mempunyai visi dan cara yang
berbeda dalam pemecahan yang akan ditempuh untuk mengembalikan kebudayaan yang
serasi dalam kehidupan. Aliran perennialisme memilih cara sendiri, yakni dengan
kembali ke alam kebudayaan lama atau dikenal dengan “regressive road to
culture” yang mereka anggap paling ideal. Sementara itu aliran
rekonstruksionisme menempuh dengan jalan berupaya membina suatu konsensus yang
paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat
manusia.
Untuk
mencapai tujuan itu, rekonstruksionisme berusaha mencari kesepakatan semua
orang mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam
suatu tatanan baru pada seluruh lingkungannya. Maka melalui lembaga dan proses
pendidikan, rekonsruksionisme ingin merombak tata susunan lama dan membangun
tata susunan hidup kebudayaan yang sama sekali baru.
Aliran
rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas
semua umat manusia atau bangsa. Karenanya pembinaan kembali daya intelektual
dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang
tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan yang akan
datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Kemudian
aliran ini memiliki potensi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia
yang diatur, diperintah oelh rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang
dikuasai oleh golongan tertentu. Cita-cita demokrasi yang sungguh bukan hanya
sekedar teori tetapi harus menjadi kenyataan, sehingga dapat diwujudkan suatu
dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu meningkatkan kualitas kesehatan,
kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna
kulit, keturunan, nasionalisme dan agama (kepercayaan).