18 Desember 2011

Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan




Aliran Progressivisme
Aliran Progressivisme, progress (maju) adalah sebuah faham filsafat yang lahir dan sangat berpengaruh dalam abad ke-20. Aliran filsafat ini kelahiran Amerika dan pengaruhnya terasa di seluruh dunia yang mendorong usaha pembaharuan di dalam lapangan pendidikan.
Dalam banyak hal aliran progressivisme identik dengan pragmatisme. Apabila orang menyebut pragmatisme, maka berarti progressivisme, begitu pula sebaliknya. Tokoh-tokoh aliran progressivisme/pragmatisme diantaranya William James, John Dewey, Hans Vaillinger, Ferdinand Schiller dan George Santayara.
Pada dasarnya aliran ini memandang bahwa pendidikan adalah sebagai wadah untuk menjadikan anak didik yang memiliki kualitas dan terus maju (progress) sebagai generasi yang akan menjawab tantangan zaman peradaban baru. Melalui pandangannya ”The Liberal Road Culture”, maksudnya ialah pandangan hidup yang mempunyai sifat-sifat fleksibel, curious, toleran dan open-minded, serta menolak segala otoritarisme dan absolutisme seperti yang terdapat dalam agama, politik, etika dan epistemologi. Dan pandangannya tentang menaruh kepercayaan terhadap kekuatan alamiah dari manusia yang diwarisi sejak lahir (men’s natural powers), sehingga manusia merupakan makhluk biologis yang utuh dan menghormati harkat dan martabat manusia sebagai pelaku/subyek di dalam hidupnya. Dengan pandangan-pandangannya tersebut, aliran progressivisme memiliki kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, yang meliputi : ilmu hayat (manusia untuk mengetahui semua masalah kehidupan), antropologi (manusia mempunyai pengalaman, pencipta budaya, dengan demikian dapat mencari hal baru), psikologi (manusia akan berpikir tentang dirinya sendiri, lingkungan dan pengalaman-pengalamannya, dan dapat menguasai serta mengatur sifat-sifat alam).
Aliran progressivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia pendidikan pada abad ke-20. Di dalam dunia pendidikan progressivisme banyak meletakkan tekanan dalam masalah kebebasan dan kemerdekaan anak didik baik secara physic maupun dalam tata berpikir. Oleh karena itu aliran progressivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter, sebab akan mematikan tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang gembira dalam menghadapi pelajaran dan sekaligus akan mematikan daya kreasi baik secara fisik maupun psikis anak didik.
John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan sosialisasi. Artinya pendidikan sebagia proses pertumbuhan dan proses bagi anak didik sehingga dapat mengambil pelajaran dari setiap kejadian dan pengalaman di lingkungan sekitarnya. Maka dari itu dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja.
Jadi sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Inilah tujuan umum pendidikan menurut John Dewey dalam bukunya “Democracy and Education”. Isi pendidikannya lebih mengutamakan bidang-bidang seperti pengetahuan alam, sejarah, keterampilan, serta hal-hal yang berguna serta langsung dirasakan oleh masyarakat. Metode scientific lebih diutamakan dan dipentingkan, dan bukan metode memorisasi. Praktek kerja di laboratorium, bengkel, kebun (lapangan) merupakan kegiatan yang dianjurkan menurut aliran progressivisme dalam rangka terlaksananya “Lerning By Doing”.
Progressivisme menghendaki jenis kurikulum yang terbuka dan fleksibel, jadi kurikulum tersebut bisa dirubah dan dibentuk sesuai dengan zamannya. Kurikulum dipusatkan pada pengalaman atau kurikulum eksperimental didasarkan atas manusia dalam hidupnya selalu berinteraksi di dalam lingkungan yang komplek, sehingga ia memerlukan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan demi kelestarian hidupnya dan perkembangan pribadinya. Oleh karena itu manusia harus belajar dari pengalaman. Pengalaman-pengalaman itu diperoleh sebagai akibat dari belajar. Anak didik yang belajar di sekolah akan mendapatkan pengalaman-pengalaman dari lingkungan, di sekolah akan mendapatkan pengalaman-pengalaman yang dapat diterapkan sesuai dengan kebutuhan umum.
Aliran ini tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan secara terpisah, melainkan harus terintegrasi dalam unit. Dengan demikian kurikulum eksperimental mengandung ciri integrated curriculum, metode yang diutamakan yaitu metode problem solving.
John Dewey telah mengemukakan dan menerapkan metode problem solving ke dalam proses pendidikan, melakukan perubahan atau inovasi dari bentuk pengajaran tradisional di mana adanya verbalisme pendidikan. Di sini anak didik dituntut untuk dapat memfungsikan akal dan kecerdasannya dengan jalan dihadapkan pada materi-materi pelajaran yang menantang siswa untuk terlibat aktif dalam proses belajar mengajar. Siswa dituntut dapat berpikir ilmiah seperti menganalisa, melakukan hipotesa dan menyimpulkannya dan penekanannya kepada kemampuan intelektualnya.
W.H. Kilpatrik (yang mengembangkan metode problem solving) mengemukakan tentang kurikulum yang dianggap baik terdiri dari :
·       Kurikulum harus dapat meningkatkan kualitas anak didik sesuai dengan jenjang pendidikan.
·       Kurikulum yang dapat mengubah perilaku anak didik menjadi kreatif, adaptif dan mandiri.
·       Kurikulum yang sanggup membina dan mengembangkan potensi anak didik.
·       Kurikulum bersifat fleksibel dan berisi tentang berbagai macam bidang studi.
Melalui proses pendidikan dengan menggunakan kurikulum yang bersifat integrated curriculum, metode lerning by doing dan metode problem solving diharapkan anak didik menjadi maju (progress), mempunyai kecakapan praktis dan dapat memecahkan masalah sosial sehari-hari dengan baik.
1.                   2. Aliran Essensialisme
Essensialisme –essensi (pokok)- merupakan aliran yang memandang terhadap pendidikan harus didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Aliran ini berpedoman pada peradaban sejak zaman Renaissance. Pada zaman Renaissance telah berkembang dengan megahnya usaha-usaha untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan kesenian serta kebudayaan purbakala, terutama di zaman Yunani dan Romawi. Dalam zaman Renaissance muncul tahap-tahap pertama dari pemikiran essensialis yang berkembang selanjutnya sepanjang perkembangan zaman Renaissance itu sendiri. Pada zaman modern sekarang ini dikembangkan lagi oleh para pengikut dan simpatisan ajaran aliran filsafat tersebut, sehingga menjadi aliran filsafat yang teguh berdiri sendiri, yang mempunyai ciri-ciri utama yang berbeda dengan aliran progressivisme.
Perbedannya yang utama adalah memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, di mana serba terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Essensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memilki kejelasan dan tahan lama, yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang tertata dan jelas.
Paham filsafat idealisme Plato dan paham filsafat idealisme Aristoteles adalah dua aliran pikiran yang membentuk konsep-konsep berpikir golongan essensialisme. Jadi pandangan filsafat essensialisme meramu dan menampung kedua aliran filsafat itu (tetapi tidak lebur jadi satu dan tidak melepaskan sifat yang utama pada masing-masing), yang kemudian mereka terapkan pula dalam bidang pendidikan.
Essensialisme didasari atas pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah keduniawian, serba ilmiah dan materialistik. Selain itu juga diwarnai oleh pandangan-pandangan dari paham penganut idealisme yang bersifat spiritual dan realisme yang titik berat tujuannya adalah mengenai alam dan dunia fisik. Adapun beberapa tokoh utama yang berperan dalam penyebaran essensialisme, yaitu :
·                      Desiderius Erasmus (akhir abad 15)
·                      Johan Amos Comenius (1592-1670)
·                      John Locke (1632-1704)
·                      Johan Heinrich Pestalozzi (1746-1827)
·                      Johan Friedrich Frobel (1782-1852)
·                      Johan Friedrich Herbert (1776-1841)
·                      William T. Harris (1835-1909)
Pada tahun 1930 telah didirikan suatu organisasi bernama “Essentialists Committee for Advancement of Education”, dalam rangka mempertahankan paham essensialisme, khususnya dari persaingan dengan aliran progressivisme. Dan pada tahun 1950-an, di Amerika didirikan sebuah organisasi yang disebut dengan dewan untuk pendidikan dasar (council for basic education) yang merupakan jawaban terhadap apa yang dirasakan oleh sebagian para ahli pendidikan, dengan adanya kecurangan-kecurangan yang terjadi berangsur-angsur dalam tubuh pendidikan Amerika, disebabkan timbulnya yang disebut “pendidikan progressive”.
Tujuan umum aliran progressivisme adalah membentuk pribadi bahagia dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mempu menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum yang digunakan di sekolah bagi essensialisme merupakan semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan. Maka dalam sejarah perkembangannya, kurikulum essensialisme merupakan bagian pola kurikulum, seperti pola idealisme. Butler mengemukakan bahwa sejumlah anak untuk setiap angkatan baru haruslah dididik untuk mengetahui dan mengagumi kitab suci, sedangkan Demih Kevich menghendaki agar kurikulum berisikan moralitas yang tinggi. Ataupun pola kurikulum realisme, yang mengumpamakan kurikulum sebagai balok-balok yang disusun dengan teratur satu sama lain yaitu disusun dari paling sederhana sampai kepada yang komplek. Susunan ini dapat diutarakan ibarat sebagai susunan dari alam, yang sederhana merupakan fundamen atau dasar dari susunannya yang paling komplek. Jadi bila kurikulum disusun atas dasar pikiran yang demikian akan bersifat harmonis. Dengan demikian, peranan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan bisa berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip dan kenyataan sosial yang ada di masyarakat.
1.                   3. Aliran Perennialisme
Perennialisme diambil dari kata perennial, yang artinya kekal atau abadi. Dari makna yang terkandung dalam kata itu, aliran perennialisme mengandung kepercayaan filasafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi. Aliran filsafat ini termasuk pendukung yang kuat dari filsafat essensialisme. Pendiri utama dari filsafat ini adalah Aristoteles yang kemudian didukung dan dilanjutkan oleh Thomas Aquinas, sebagai reformer utama pada abad ke-13.
Dengan melihat kehidupan zaman modern telah menimbulkan banyak krisis, di bidang kehidupan umat manusia. Untuk mengatasi krisis ini, perennialisme memberikan jalan keluar berupa “regressive road to culture”. Oleh sebab itu perennialisme memandang penting peranan pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia zaman modern ini kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal, untuk supaya sikap yang membanggakan kesuksesan dan memulihkan kepercayaan pada nilai-nilai asasi masa silam.
Asas-asas filsafat perennialisme bersumber pada dua filsafat kebudayaan, yaitu perennialisme theologis, yang ada dalam pengayoman supremasi gereja Katolik, khususnya menurut ajaran dan interpretasi Thomas Aquinas, dan perennialisme sekuler, yakni yang berpegang teguh pada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles.
Pandangan-pandangan Thomas Aquinas sangat berpengaruh dalam lingkungan gereja Katolik. Demikian pula dalam pandangan-pandangan aksiomatis lain seperti yang diutarakan oleh Plato dan Aristoteles. Selain itu juga semuanya mendasari konsep filsafat pendidikan perennialisme.
Di bidang pendidikan, perennialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokohnya seperti Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas. Dalam hal ini, pokok pikiran Plato tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah menifestasi daripada hukum yang universal, yang abadi dan sempurna, yakni ideal. Sehingga ketertiban sosial hanya akan mungkin bila ide itu menjadi ukuran, asas normatif dalam tata pemerintahan. Maka tujuan utama pendidikan ialah membina pemimpin yang sadar dan mempraktekkan asas-asas yang normatif itu dalam semua aspek kehidupan.
Menurut Plato, manusia secara kodrati memiliki tiga potensi, yaitu nafsu, kemauan dan pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada ketiga potensi tersebut dan kepada masyarakat, agar supaya kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi. Ide-ide Plato itu dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih mendekatkan pada dunia kenyataan. Bagi Aristoteles tujuan pendidikan adalah kebahagiaan.
Untuk mencapai pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi, dan intelek harus dikembangkan secara seimbang.
Seperti halnya prinsip-prinsip Plato dan Aristoteles, tujuan pendidikan yang dikehendaki Thomas Aquinas adalah sebagai usaha untuk mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktivitas, aktif dan nyata. Dalam hal ini peranan guru adalah mengajar (memberi bantuan pada anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada pada diri anak didik).
Prinsip-prinsip pendidikan perennialisme tersebut, perkembangannya telah mempengaruhi sistem pendidikan modern, seperti pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah, perguruan tinggi dan pendidikan orang dewasa.
1.                   4. Aliran Rekonstruksionisme
Kata rekonstruksionisme dalam bahasa Inggris “rekonstruct”, yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks pendidikan, aliran ini adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan aliran perennialisme, yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan modern.
Walaupun demikian, prinsip yang dimiliki aliran rekonstruksionisme tidaklah sama dengan prinsip yang dipegang perennialisme. Keduanya mempunyai visi dan cara yang berbeda dalam pemecahan yang akan ditempuh untuk mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan. Aliran perennialisme memilih cara sendiri, yakni dengan kembali ke alam kebudayaan lama atau dikenal dengan “regressive road to culture” yang mereka anggap paling ideal. Sementara itu aliran rekonstruksionisme menempuh dengan jalan berupaya membina suatu konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat manusia.
Untuk mencapai tujuan itu, rekonstruksionisme berusaha mencari kesepakatan semua orang mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan baru pada seluruh lingkungannya. Maka melalui lembaga dan proses pendidikan, rekonsruksionisme ingin merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang sama sekali baru.
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia atau bangsa. Karenanya pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Kemudian aliran ini memiliki potensi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oelh rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Cita-cita demokrasi yang sungguh bukan hanya sekedar teori tetapi harus menjadi kenyataan, sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan, nasionalisme dan agama (kepercayaan).