A.
Permasalahan
Tinjauan
kritis terhadap dunia Pendidikan secara global seringkali ditanggapi dengan
nada pesimis. Berbagai upaya recovery untuk menjawab rasa pesimistik
terus dilakukan, salahsatunya memperbaiki kurikulum sesuai tuntutan masyarakat.
Menurut Mastuhu[1] hal-hal pokok yang harus diperhatikan antara
lain:
1.
Kesesuaian
dengan visi-misi, orientasi, tujuan, lengkap dengan “kecerdasan komplit”[2] yang ingin dikembangkan. Struktur,
komposisi, jenis, jenjang, dan jumlah mata pelajaran lengkap dengan bobot isi
dan waktu pelajaran merupakan penjabaran lebih lanjut dari visi, misi,
orientasi dan tujuan yang ingin dicapai menurut level atau tingkat-tingkat
kelas.
2.
Seiring
prinsip otonomitas dalam menyelenggarakan pendidikan bermutu, maka sebaiknya
masing-masing penyelenggara perguruan merencanakan kurikulumnya sendiri sesuai
dengan pandangannya, namun harus tetap dalam rambu-rambu kebangsaan, kebernegaraan
dan matched dengan tantangan lokal dan global.
Pendapat
Mastuhu diatas menggelitik ruang sensitif dalam wadah sosial kebangsaan secara
luas. Bahwa pendidikan di Indonesia secara umum masih harus menggambarkan citra
dan watak kepribadian bangsanya sendiri. Sudah semestinya sebagai insan
pendidikan memperhatikan irisan dan daya adaftivitas terhadap pola dan model
pendidikan yang bervisi-misi ke-Indonesiaan. Mungkin dewasa ini sudah menjadi
pemandangan yang biasa apabila kita melihat peserta didik memiliki perilaku
budaya yang bertolak belakang dengan norma sosial masyarakatnya. Hal ini
tentunya berawal dari cita-cita dan tujuan yang termuat dalam kurikulum secara
jernih.
Melihat
muatan nilai pendidikan yang serba samar dan terlalu beraroma Barat akhir-akhir
ini beredar wacana untuk mengislamkan ilmu pengetahuan. Dalam arti ini dapat
dikatakan bahwa islamisasi ilmu pengetahuan merupakan solusi
alternatif-strategis. Upaya ini merupakan hal menggembirakan apabila faktor
teknis dan non-teknis turut serta menyuburkan iklim tersebut. Tetapi apabila
hanya bersifat euforia, tentunya sangat disesalkan. Alih-alih mencari
solusi alternatif strategis kenyataannya bisa saja menjadi solusi alternatif
strategis bagi golongan tertentu yang hanya mencari keuntungan dari opini
publik yang memang potensinya besar karenakan mayoritas penduduknya Muslim.
Cerminan
kurikulum Islami[3] harus memuat prinsip: a] Mengandung nilai
kesatuan dasar bagi persamaan nilai Islam pada setiap waktu dan tempat; b]
mengandung nilai kesatuan kepentingan dalam mengembangkan misi ajaran Islam; c]
mengandung materi yang bermuatan pengembangan spiritual, intelektual dan
jasmaniah.
Hal
di atas mengisyaratkan bahwa implementasi kurikulum pendidikan Islami
mendapatkan porsi yang strategis dalam melengkapi kurikulum pendidikan umum
artinya proses pembelajaran antara pendidikan umum dan agama menjadi poros utama
dalam menciptakan sumber daya manusia yang berwawasan imtak dan iptek, sehingga
nilai tambah yang didapatkan siswa dengan diterapkannya pembelajaran yang
berwawasan Islami, mengarahkan siswa pada moral, akhlak dan prilaku yang lebih
baik, dapat menumbuhkan minat dan kesadaran siswa yang menghasilkan kecerdasan
secara integrated ['kecerdasan komplit'] antara kecerdasan
Intelektual [IQ], kecerdasan Emosional [EQ], kecerdasan Spritiual [SQ], dan
berpusat (bersumber) pada kecerdasan Religi [RQ].
Mengapa
islmisasi ilmu pengetahuan merupakan langkah solusi alternatif strategis? Dalam
lingkup yang luas, masih adanya anggapan masyarakat yang menyatakan bahwa tidak
terdapat kaitan antara ilmu pengetahuan umum dengan agama[4], keduanya bekerja pada wilayah yang berbeda.
Inilah salah satu bentuk dikotomi ilmu yang sudah meresap pada ‘peredaran
darah’ masyarakat yang menimbulkan permasalahan kompleks dan sistemik terhadap
pola pendidikan sehingga perlu untuk diantisipasi.
Pertentangan
dualisme sistim pendidikan ini menghasilkan kehidupan yang dialami anak-anak
menjadi paradoks, disatu sisi mereka mendapatkan materi moral (agama), disisi
lain mereka mendapatkan suguhan-suguhan yang bersifat amoral seperti kekerasan,
porno aksi dan pornografi. Hal ini terjadi secara mengglobal di dunia. Sampai
disini peran pendidikan nilai belum menyentuh secara menyeluruh.
Dalam
lingkup yang lebih spesifik, permasalahan aktual pendidikan agama di sekolah
umum adalah ketidaksesuaian hasil pendidikan agama yang diajarkan di sekolah
dengan tuntutan orangtua dan masyarakat pada umumnya. Pendidikan agama hanya
berorientasi pada proses transfer pengetahuan-agama dan belum sampai pada
pembinaan komitmen moral mereka yang dalam bahasa agama kita sebut “tammimu
makarim al-akhlak”. Orangtua dan masyarakat pada umumnya memposisikan
dirinya “lepas” dari tanggungjawab penyelenggaraan pendidikan agama. Inilah
permasalahan utama pendidikan agama dan umum di sekolah yaitu terputusnya tiga
jaringan yang saling berhubungan dalam pelaksanaan pendidikan agama yaitu
sekolah, keluarga dan masyarakat sebagai suatu kesatuan sistem. Imran
Siregar[5] mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor
penyebab permasalahan tersebut:
1.
Proses
belajar mengajar mata pelajaran pendidikan agama di sekolah diperlakukan sama
dengan pelajaran umum.
2.
Karakteristik
mata pelajaran agama adalah menanamkan nilai-nilai, sikap dan perilaku siswa.
Kurikulum yang dibutuhkan adalah memuat materi tentang materi esensial yang
berorientasi pada process base bukan pada content base.
3.
Belum
terselenggaranya secara optimal koordinasi, komunikasi dan sinkronisasi antara
keluarga, sekolah dan masyarakat sebagai tiga unsur yang terkait langsung
dengan penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah[6].
Berdasarkan
uraian diatas ada, pertanyaan besar bagi dunia pendidikan bagaimana nilai-nilai
pendidikan islami pada pembelajaran di sekolah terintegrasi dengan kebutuhan
masyarakat (lingkup makro) dan keluarga (lingkup mikro) dalam meningkatkan
kualitas (nilai) tanggungjawab moral dan akhlak siswa? Hal ini bertujuan untuk
mendeskripsikan penyelenggaraan integrasi pendidikan Islami di sekolah umum
dari sudut pandang keterpaduan antara sekolah, keluarga dan masyarakat.
B.
Pendidikan Nilai Islami
1.
Pengertian Nilai
Dalam
kamus istilah pendidikan, nilai adalah harga, kualitas atau sesuatu yang
dianggap berharga dan menjadi tujuan yang hendak dicapai (Sastrapraja,
1997:339). Sedangkan menurut Lorens Bagus (1996:713) nilai adalah 1] kualitas
suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna atau dapat
menjadi objek kepentingan; 2] apa yang dihargai, dinilai tinggi atau dihargai
sebagai suatu kebaikan.
Berkenaan
dengan hierarki nilai, Atmadi (2001:73) mengungkapkan ada empat pedoman yang
menentukan tinggi rendahnya nilai, yaitu: semakin tahan lama, semakin tinggi;
semakin membahagiakan, semakin tinggi; semakin tidak bergantung pada nilai-nlai
yang lain, semakin tinggi; semakin tidak bergantung pada kenyataan, semakin
tinggi.
2.
Pendidikan Nilai
Rohmat
Mulyana[7] (2004:119) mengungkapkan bahwa pendidikan
nilai mencakup seluruh aspek sebagai pengajaran atau bimbingan kepada
peserta didik agar menyadari nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan, melalui
proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten.
Tujuan
pendidikan di sekolah ditentukan oleh kurikulum sekolah. Kurikulum pendidikan
nilai di sekolah menurut Wahjudin (1996:24) harus terdiri atas nilai-nilai,
norma-norma, kebudayaan dan kegiatan-kegiatan yang mampu membentuk anak didik
menjadi manusia berkemampuan tinggi, sehingga dapat mencapai ilmu pengetahuan
dan teknologi canggih, mampu mandiri dan berkepribadian.
Seperti
dikemukakan Komite APED (Asia and the Pasific Programme of Educational Innovation
for Development)[8] Pendidikan nilai secara khusus bertujuan
untuk: a] menerapkan pembentukan nilai kepada anak; b] menghasilkan sikap yang
mencerminkan nilai-nilai yang diinginkan; 3] membimbing perilaku yang konsisten
dengan nilai-nilai tersebut. Dengan demikian tujuan pendidikan nilai meliputi
tindakan mendidik yang berlangsung mulai dari usaha penyadaran nilai sampai
pada perwujudan perilaku-perilaku yang bernilai (Unesco, 1994)
Dalam
perspektif Pendidikan Islam, agar manusia mendapatkan predikat sebagai khlaifah
sekaligus sebagai ‘abd, maka harus menuntut ilmu yang sifatnya terpadu.
Ilmu atau pengetahuan terpadu didefinisikan oleh R.H.A Sahirul Alim (Maksum,
2001:42) adalah ilmu-ilmu yang diperoleh manusia melalui kawasan alam semesta
dan alam sekitarnya serta dikirimkan melalui wahyu yang dapat ditangkap oleh
para nabi dan rasul. Ilmu yang demikian itu merupakan ilmu yang dijiwai oleh
tauhid karena dibimbing oleh “kebenaran mutlak”.
3.
Pendidikan Islam
a.
Hakikat Pendidikan Islam
Muhammad
S.A. Ibrahim[9] memandang bahwa hakikat pendidikan Islam
adalah suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan
kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam sehingga ia dengan mudah membentuk
hidupnya sesuai dengan ajaran Islam. Hakikat Pendikan Islam meliputi lima
prinsip pokok, yaitu:
Pertama, proses transformasi dan internalisasi yakni pelaksanaan
pendidikan Islam harus dilakukan secara bertahap, berjenjang dan kontinu dengan
upaya pemindahan, penanaman, pengarahan, pengajaran, dan pembimbingan yang
dilakukan secara terencana, sistematis, dan terstruktur dengan menggunakan pola
dan sistem tertentu.
Kedua, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yakni upaya yang diarahkan
kepada pemberian dan penghayatan serta pengalaman ilmu pengetahuan dan
nilai-nilai.
Ketiga, pada diri anak didik yakni pendidikan itu diberikan kepada
anak didik yang mempunyai potensi rohani.
Keempat,
melalui penumbuhan dan pengembangan
potensi fitrahnya yakni tugas pendidikan Islam menumbuhkan, mengembangkan,
memelihara dan menjaga potensi laten manusia agar ia tumbuh dan berkembang
sesuai dengan tingkat kemampuan, minat, dan bakat-nya.
Kelima, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup dalam
segala aspeknya, yakni tujuan akhir dari proses pendidikan Islam adalah
terbentuknya Insan Kamil.
b.
Tujuan Pendidikan Islam
Menurut
Abdurahman Saleh Abdullah[10] tujuan pendidikan Islam diklasifikasikan
menjadi empat macam, yaitu: Pertama, tujuan pendidikan jasmani. Kedua,
tujuan pendidikan rohani. Ketiga, tujuan pendidikan akal. Keempat,
tujuan pendidikan sosial. Sedangkan, tujuan pendidikan menurut Ali Asraf[11] membuat klasifikasi sbb:
Pertama, mengembangkan wawasan spiritual yang semakin mendalam dan
mengembangkan pemahaman rasional mengenai Islam dalam konteks kehidupan modern.
Kedua,
membekali anak didik dengan berbagai
kemampuan pengetahuan dan kebajikan, baik pengetahuan praktis, kesejahteraan,
lingkungan sosial, dan pembangunan nasional.
Ketiga, mengembangkan kemampuan pada diri anak didik untuk
menghargai dan membenarkan superioritas komparatif kebudayaan dan peradaban
Islam di atas semua kebudayaan lain.
Keempat,
memperbaiki dorongan emosi melalui
pengalaman imajinatif, sehingga kemampuan kreatif dapat berkembang dan
berfungsi mengetahui norma-norma Islam yang benar dan yang salah.
Kelima, membantu anak yang sedang tumbuh untuk belajar berpikir
secara logis dan membimbing proses pemikirannya dengan berpijak pada hipotesisi
dan konsep-konsep pengetahuan yang dituntut.
Keenam, mengembangkan, menghaluskan, dan memperdalam kemampuan
komunikasi dalam bahas tulis dan bahasa latin (asing).
c.
Tugas Pendidikan
Tugas
pendidikan Islam senantiasa bersambung dan tidak terputus oleh waktu. Hal ini
hakikat pendidikan Islam merupakan proses tanpa akhir sejalan dengan konsep
Islam Life long Education (al-Hijr[15]:99). Tugas pendidikan Islam dapat
ditinjau dari tiga pendekatan: Pertama, pendidikan sebagai pengembangan
potensi. Kedua, pewarisan budaya. Ketiga, interaksi antara
potensi dan budaya.
Berdasarkan
uraian di atas dapat dipahami bahwa tugas pendidikan Islam adalah membantu
pembinaan anak didik pada ketakwaan dan berakhlak karimah yang
dijabarkan dalam pembinaan kompetensi keimanan, keislaman, dan keihsanan.
d.
Kurikulum Pendidikan
Landasan
pokok penyusunan kurikulum islami harus memuat prinsip: a] Mengandung nilai
kesatuan dasar bagi persamaan nilai Islam pada setiap waktu dan tempat; b]
mengandung nilai kesatuan kepentingan dalam mengembangkan misi ajaran Islam; c]
mengandung materi yang bermuatan pengembangan spiritual, intelektual dan
jasmaniah.
Abdurrhaman
al-Nahlawi[12] memberikan batasan tentang ciri khas
kurikulum yang islami adalah sebagai berikut: 1] Sistem dan perkembangan
kurikulum selaras dengam fitrah manusia; 2] diarahkan untuk mencapai target
akhir pada peserta didik yaitu ikhlas dan taat beribadah kepada Allah; 3]
Memperhatikan periodesasi perkembangan peserta didik, tipologi, sifat, dan
gender; 4] hendaknya memelihara segala kebutuhan nyata kehidupan masyarakat
sambil tetap bertopang pada jiwa dan cita-cita ideal Islam; 5] tidak menimbulkan
pertentangan dalam arti yang umum; 6] dapat direalisasikan sesuai dengan
situasi dan kondisi; 7] Bersifat luwes sehingga dapat disesuaikan dengan
berbagai kondisi dan situasi setempat dengan mengingat pula faktor peradaban
individu yang menyangkut bakat, minat, dan kemampuan anak didik; 8] bersifat
efektif, menyampaikan dan menggugah perangkat nilai edukatif yang membuahkan
tingkah laku yang positif; 9] memperhatikan perkembangan anak didik (perasaan
keagamaan dan pertumbuhan bahasa); 10] Memperhatikan tingkah laku amaliah
islamiah.
Tentang
prinsip yang menjadi pertautan dasar kurikulum, al-Syaibani[13] memberikan uraian sebagai berikut; Pertama,
pertautan yang sempurna dengan ajaran dan jiwa agama. Kedua, bersifat
universal yang meliputi segala aspek pribadi peserta didik. Ketiga,
memperhatikan aspek keseimbangan antara spiritual dan material. Keempat,
berkaitan dengan bakat dan minat serta kemampuan anak didik dan kondisi sosial
lingkungannya. Kelima, pemeliharaan perbedaan individu anak didik, alam
sekitar dan masyarakat. Keenam, prinsip perkembangan dan perubahan
kurikulum untuk progredifitas dalam rangka menyesuaikan diri dengan perubahan
sosial. Ketujuh, pertautan antara mata pelajaran, pengalaman, dan
aktivitas yang terkandung dalam kurikulum.
C.
Integrasi nilai-nilai Pendidikan Islami pada Pembelajaran
1.
Pentingnya Integrasi Nilai-nilai Islami pada Proses Belajar Mengajar
Bertolak
dari rumusan UU Sistem Pendidikan Nasional RI No. 20 tahun 2003 pasal 339, yang
mengisyaratkan bahwa tujuan pendidikan Indonesia mengarahkan warganya kepada
kehidupan yang beragama. Maka sebagai salah satu bentuk realisasi dari UU
Sisdiknas tersebut, Integrasi adalah alternatif yang harus di pilih untuk
menjadikan pendidikan lebih bersifat menyeluruh (integral-holistik).
Gagasan integrasi (nilai-nilai islami [agama] dan umum) ini bukanlah sebuah
wacana untuk meraih simpatik akademik, melainkan sebuah kebutuhan mendesak yang
harus dijalankan sebagai pedoman pendidikan yang ada, mengingat pendidikan
selama ini dipengaruhi oleh dualisme yang kental antara ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu umum/ sekuler yang menyebabkan dikotomi ilmu, sebagaimana dipaparkan
di atas. Bukti nyata dari kebutuhan adanya panduan dan model integrasi ilmu ini
ditunjukan dengan diselenggarakannya berbagai seminar nasional berkenaan dengan
reintegrasi ilmu, sampai pada kebijakan dari pemerintah, seperti kebijakan
integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional dalam UUSPN No. 2 tahun
1989, madrasah mengalami perubahan “sekolah agama” menjadi “sekolah umum
bercirikan khas islam”. Pengintegrasian madrasah ke dalam sistem
pendidikan nasional menemukan titik puncaknya pada awal 2000, setelah Presiden
RI ke-4 K.H. Abdurrahman Wahid yang mengubah struktur kementrian pendidikan
dari “Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menjadi “Departemen Pendidikan
Nasional”. Berdasarkan Hal itu Abdurrahman Wahid menggulirkan ide “pendidikan
satu atap” sistem pendidikan nasional dan memiliki status serta hak yang sama.
Inilah yang diharapkan dan mengakhiri dikotomi “pendidikan umum” dan
“pendidikan Islam”.
Sejarah
menunjukan, sudah sejak lama sebelum Istilah Integrasi memposisikan
diri dalam memberikan kerangka normatif Nilai-nilai Islami pada
pembelajaran, sebelumnya bahkan sampai saat ini gagasan Islamisasi Sains
menjadi Jargon yang mendapat sambutan luar biasa dari cendikiawan
Muslim, mulai Al-Maududi 1930-an, S.H. Nasr, Naquib Al-Attas dan Ja’far Syaikh
Idris tahun 1960-1970-an; Ismail Al-Faruqi tahun 1980-an; sampai pada Ziauddin
Sardar. Islamisasi sains tersebut tidak lain adalah sebuah reintegrasi ilmu,
dalam menangkal ilmu (sekuler) yang disertai isme-isme yang datang dari luar
yang belum tentu sesuai dengan peredaran darah dan tarikan nafas yang kita
anut, yang akhir-akhir ini dikenal istilah integrasi. Sebagai
hasil kebutuhan tersebut, untuk tingkat Universitas, akademisi ataupun umum
misalnya terbit buku Integrasi Ilmu; sebuah rekonstruksi holisitk
karangan Mulyadi Kertanegara, yang diharapkan menjadi buku daras untuk UIN
walaupun masih bersifat umum. Melacak jejak Tuhan: Tafsir Islami atas Sains
karangan Mehdi Golshani yang sekarang menjadi hak paten milik negara dan
oleh Diknas diedarkan kelembaga pendidikan SMP dan SMA. Bahkan secara
revolusioner Armahedi Mahzar menerbitkan Revolusi Integralisme Islam:
‘Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami’, 2004. Inilah
beberapa alasan mendasar pentingnya integrasi untuk diterapkan dalam
pembelajaran.
Dalam
lingkup mikro, masih minimnya panduan Integrasi Nilai-nilai Islami pada proses
pembelajaran di sekolah baik model, metode, ataupun pendekatan pembelajaran,
dirasa perlu [kalau bukan harus] untuk menginterpretasikan kembali seluruh
materi pelajaran sekolah dengan muatan-muatan nilai yang Islami. Tujuan
kurikulum pendidikan Islami tidak semata-mata mendorong anak didik untuk mampu
berkomunikasi tanpa bimbingan orang lain dan sekaligus dapat memecahkan masalah
dengan baik, akan tetapi lebih sebagai jiwa atau ruh dari pendidikan itu.
Sebagaimana pendidikan yang diajarkan Rasulullah Muhammad saw., yang lebih
mengutamakan akhlak bagi ummatnya “li utammima makarim al-akhlak“.
Tujuan
pendidikan nilai pada dasarnya membantu mengembangkan kemahiran berinteraksi
pada tahapan yang lebih tinggi serta meningkatkan kebersamaan dan kekompakan
interaksi atau apa yang disebut Piaget sebagai ekonomi interaksi atau menurut
Oser dinyatakan dengan peristilahan kekompakan komunikasi. Tujuan pendidikan
nilai tidak dapat tercapai tanpa aturan-aturan, indoktrinasi atau pertimbangan
prinsip-prisnip belajar. Namun sebaliknya, dorongan moral komponen pembentukan
struktur itu sangat penting. Oleh karena itu, pendidik seharusnya tidak hanya
sekedar membekali dan menjejali siswa dengan pengetahuan tentang tujuan serta
analisis dari hubungan antara tujuan dengan alat (W. Sumpeno, 1996:27)
Pentingnya
integrasi pendidikan nilai tersebut menjadi satu kerangka normatif dalam
merumuskan tujuan pendidikan Islam sebagaimana diungkapkan Ali Asraf[14] bahwa tujuan pendidikan Islam:
Pertama, mengambangkan wawasan spiritual yang semakin mendalam dan
mengembangkan pemahaman rasional mengenai Islam dalam konteks kehidupan modern.
Kedua, membekali anak didik dengan berbagai kemampuan pengetahuan dan
kebajikan, baik pengetahuan praktis, kesejahteraan, lingkungan sosial, dan pembangunan
nasional. Ketiga, mengembangkan kemampuan pada diri anak didik untuk
menghargai dan membenarkan superioritas komparatif kebudayaan dan peradaban
Islam di atas semua kebudayaan lain. Keempat, memperbaiki dorongan emosi
melalui pengalaman imajinatif, sehingga kemampuan kreatif dapat berkembang dan
berfungsi mengetahui norma-norma Islam yang benar dan yang salah. Kelima,
membantu anak yang sedang tumbuh untuk belajar berpikir secara logis dan
membimbing proses pemikirannya dengan berpijak pada hipotesis dan konsep-konsep
pengetahuan yang dituntut. Keenam, mengembangkan, menghaluskan, dan
memperdalam kemampuan komunikasi dalam bahas tulis dan bahasa latin (asing).
2.
Model, Metode dan Pendekatan Pembelajaran yang Terintegrasi dengan Nilai-nilai
Islami
Pemberian
nilai-nilai Islami pada proses pembelajaran tentunya harus melalui etika dan
pola pembelajaran yang sistematis mengikuti model, metoda, pendekatan sebagai
bentuk strategi belajar mengajar yang digunakan sehingga tujuan dapat tercapai
secara maksimal. Dibawah ini diuraikan beberapa model, metode dan pendekatan
pembelajaran terpadu dalam pembelajaran.
a.
Model-model Pembelajaran Terpadu
Achmad
(2002:14) sebagaimana pendapat yang dikutipnya dari Fogarty (1991)
mengungkapkan bahwa terdapat 10 model pembelajaran terpadu yang dikelompokan
menjadi tiga tipe model:
Tipe
Pertama, yaitu model pembelajaran terpadu dalam satu bidang studi (model
Fragmented, Connected, dan Nested).
Tipe
kedua, yaitu model pembelajaran terpadu antar bidang studi (model Sequened,
Shared, Webbed, Threaded, dan Integrated).
Tipe
ketiga, yaitu model pembelajaran terpadu dalam faktor diri siswa (model
Immersed dan Networked)
Berdasarkan
tipe model-model diatas, model yang sesuai dengan tema disini adalah model tipe
kedua, jenis modelnya adalah model Threaded dan Integrated. Threaded
merupakan model keterpaduan yang menghubungkan atau mengaitkan secara mendasar
sehingga terdapat benang merah yang dapat menghubungkan dan dikembangkan lebih
luas. Integated adalah model keterpaduan yang bertitik tolak pada
persamaan topik/ konsep yang terjadi dari berbagai bidang yang dapat dirumuskan
menjadi satu.
Sedangkan
model-model pembelajaran terpadu yang digunakan oleh Imran Siregar dalam Riset
Pendidikan Terpadu di Probolinggo Jawa Timur antara lain:
1.
Model
Connected (model keterhubungan) adalah model pembelajaran terpadu yang
secara sengaja diusahakan untuk menghubungkan satu konsep dengan konsep lain,
satu topik dengan topik lain, satu keterampilan dengan keterampilan lain,
tugas-tugas yang dilakukan sehari-hari dengan tugas-tugas berikutnya, di dalam
satu bidang studi.
2.
Model
Webded (model jaringan laba-laba), model ini merupakan pembelajaran
terpadu yang menggunakan pendekatan tematik.
3.
Model
Integrated (model keterpaduan), model ini merupakan pembelajaran terpadu yang
menggunakan pendekatan antara bidang studi dengan menetapkan prioritas
kurikuler dan menemukan keterampilan, konsep dan sikap yang saling tumpang
tindih dalam beberapa bidang studi. Berbeda dengan model laba-laba yang
menuntut pemilihan tema dan pengembangannya sebagai langkah awal, maka dalam
model keterpaduan tema-tema yang saling terkait dan tumpang tindih merupakan
hal terakhir yang ingin di cari dan dipilih guru dalam tahap perencanaan
program. Selain itu, pembelajaran terpadu juga memungkinkan siswa untuk
memahami suatu fenomena dari segala sisi. Pada gilirannya, hal ini akan membuat
siswa menjadi lebih arif dan bijak dalam menyikapi atau menghadapi kejadian
yang ada dihadapan mereka.
b.
Metode dan Pendekatan Terpadu
Dalam
mengembangkan pembelajaran yang terintegrasi nilai-nilai Islami (agama),
diperlukan suatu pedoman yang dapat digunakan untuk menerapkan dalam
pembelajaran tersebut. Untuk itu diperlukan Broad Curriculum (Integrated
Curriculum) yang pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Huxley
pada tahun 1969 di London sebagaimana diungkapkan Harry Suderadjat (Achmad
Barik Marzuq, 2002:16). Kurikulum yang terpadu pada pembelajaran dengan
nilai-nilai Islami sangat diperlukan untuk mempermudah guru dalam
mengimplementasikannya.
Pengejawantahan
kurikulum yang terpadu pada proses pembelajaran, tentunya tidak terlepas dari
bagaimana strategi belajar mengajar yang hendak disampaikan pada siswa, hal ini
juga terkait dengan metode dan pendekatan apa yang harus di gunakan. Suharsimi
Arikunto (1993:306-307) mendefinisikan metode, pendekatan dan strategi belajar
mengajar adalah:
Metode
mengajar adalah cara-cara atau teknik yang digunakan dalam mengajar, misalnya;
ceramah, tanya jawab, diskusi sosiodrama, demonstrasi, dan eksperimen.
Pendekatan lebih menunjukan pada bagaimana kelas dikelola, misalnya secara
individu, kelompok dan klasikal. Steategi pembelajaran menunjuk kepada
bagaimana guru mengatur keseluruhan proses belajar mengajar, meliputi: mengatur
waktu, pemenggalan penyajian, pemiliham ,etode, dan pemilihan pendekatan.
Dengan
mengetahui metode, pendekatan pembelajaran terpadu yang digunakan maka pada
prosesnya dapat mencapai target dan tujuan “nilai” pendidikan yang
diharapkan. Pendidikan nilai bertujuan untuk menentukan sikap atau tingkah laku
seseorang. Atmadi (2001:82) mengungkapkan bahwa metode yang ditempuh untuk
mencapai tujuan pendidikan nilai tersebut antara lain:
1.
Metode
menasihati (moralizing) yaitu metode pendidikan nilai di mana seorang
pendidik secara langsung mengajarkan sejumlah nilai yang harus menjadi pegangan
hidup peserta didik. Dalam metode ini pendidik dapat menggunakan khotbah,
berpidato, memberi nasehat atau memberi instruksi kepada peserta didik agar
menerima saja sejumlah nilai sebagai pegangan hidup.
2.
Metode
serba membiarkan (a laissezfaire attitude), yaitu metode pendidikan
nilai dimana seorang pendidik memberi kesempatan seluas-luasnya kepada peserta
didik untuk menentukan pilihan terhadap nilai-nilai yang ditawarkan oleh
pendidik. Pendidik hanya memberikan penjelasan tentang nilai-nilai tanpa
memaksakan kehendaknya sendiri bahwa nilai ini atau itu yang seharusnya dipilih
oleh peserta didik tetapi setelah memberi penjelasan pendidik mempersilahkan
peserta didik mengambil sikap sendiri-sendiri.
3.
Metode
Model (modelling) yaitu metode pendidikan nilai dimana seorang
pendidik mencoba meyakinkan peserta didik bahwa nilai tertentu itu memang baik
dengan cara memberi contoh dirinya atau seseorang sebagai model penghayat nilai
tertentu, pendidik berharap peserta didik tergerak untuk menirunya.
Sedangkan
metoda pendidikan nilai yang dipakai oleh Sutajo Adisusilo (Atmadi,
2001:71-91) adalah metoda VCT (Value Clarification Technique). VCT
adalah teknik pengungkapan nilai. Dengan metode ini nilai tidak diajarkan
secara doktriner, namun disimpulkan atau ditemukan sendiri oleh peserta didik
dari sejumlah kegiatan pengajaran. VCT merupakan cara atau proses di mana
pendidik membantu orang atau peserta didik menemukan nilai-nilai yang
melatarbelakangi tingkah lakunya serta pilihan-pilihan penting yang dibuatnya.
Dalam kenyataannya peserta didik atau orang harus terus-menerus menentukan
nilai sebagai dasar tindakannya. Pandangan Harmin dkk., menunjukan bahwa
VCT akan mengantar peserta didik mempunyai keterampilan atau kemampuan menentukan
pilihan yang tepat sesuai tujuan hidupnya. Salah satu metoda VCT adalah dengan
penyisipan pertanyaan dalam suatu kegiatan belajar mengajar. Maksudnya, ada
pertanyaan tentang nilai yang sengaja disisipkan di awal, ditengah, atau
diakhir pengajaran suatu mata pelajaran. Bentuk pertanyaan VCT beraneka ragam
sesuai dengan tujuan yang diharapkan pendidik, diantaranya ialah:
Pertanyaan
penjajagan (di awal pengajaran, di tengah, atau akhir pengajaran untuk
pengecekan hasil sementara atau hasil akhir). Lontaran pertanyaan jenis ini
bila terjawab oleh peserta didik, hendaknya jangan disusul oleh pertanyaan
mencari alasan atau reasoning sebelum jumlah penjawab sesuai dengan
harapan kita. Penghargaan (berupa pujian) jangan dahulu diberikan sebelum
jumlah penjawab yang diharpkan terpenuhi. Penjajagan klarfifikasi dan
pertanyaan reasoning yang dilakukan dalam proses belajar mengajar
bukanlah performance test, dan jangan diberi nilai, karena membenihkan
nilai jawaban demi jawaban akan mengunci dan membatasi anak dalam menjawab.
(Atmadi, 2001:82-83)
Proses
penilaian merupakan proses yang utama dalam pengembangan nilai dalam
pembelajaran. Barman (1097) dan Abdul Aziz (1996) mengemukan enam
alternatif pendekatan bagi terjadinya proses valuing dalam pembelajaran antara lain
pendekatan untuk pengembangan kognitif, penanaman nilai, perkembangan moral,
kejelasan nilai-nilai (value clarificarion), belajar tindakan (action
learning), dan analisis.
Pendekatan
pengembangan kognitif akan lebih memberikan kesempatan pada siswa untuk mampu
mengembangkan pola-pola penalaran yang lebih kompleks didasarkan pada
seperangkat nilai. Pendekatan penanaman nilai lebih bersifat indoktrinasi dalam
pengembangan nilai. Proses valuing dengan pendekatan ini lebih
merupakan internalisasi nilai-nilai tertentu yang dimiliki guru dan masyarakat
kepada diri anak atau mengubah nilai-nilai anak kearah nilai-nilai tertentu
yang dikehendakinya. Pendekatan perkembangan moral membantu anak mengembangkan
penalaran moralnya melalui penggunaan episode dilema moral sebagaimana yang
dikembangkan Lawrence Kohlberg. Pendekatan kejelasan nilai-nilai memberikan
kesempatan kepada anak untuk menyadari dan mengenal nilai-nilainya dan juga
nilai orang lain, serta mengkomunikasikan secara terbuka nilai-nilai mereka.
Tujuan utama pendekatan belajar tindakan ialah memberi kesempatan kepada anak
untuk melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan nilai-nilainya melalui
permainan peran, simulasi, diskusi dan sebagainya. Pendekatan analisis
menyediakan pengalaman belajar menggunakan pemikiran logis serta penyelidikan
ilmiah untuk mengevaluasi isu-isu melalui diskusi, melakukan penyelidikan dan
analisis kasus (Harry Firman, 1988:29).
3.
Penerapan Integarasi Nilai-nilai Islami pada Pembelajaran
Kurikulum
pendidikan Islam sampai saat ini masih dihadapkan pada kesulitan untuk
mengintegrasikan dua kutub paradigma keilmuan dualistik. Pada satu sisi, harus
berhadapan dengan ‘subjek-subjek sekuler’, dan pada sisis lain, dengan
‘subjek-subjek keagamaan’. Subjek-subjek yang dianggap sekuler biasanya terdiri
dari jenis keilmuan umum seperti matematika, fisika, biologi, kedokteran,
sosiologi, ekonomi, politik, botani, zoologi, dan sebagainya. Sementara
subjek-subjek keagamaan terdiri dari jenis sains wahyu seperti Alquran,
Alhadits, fiqh, teologi, tasawuf, tauhid, dan semacamnya. Dari dikotomi diatas,
kurikulum pendidikan umum dan Kurikulum pendidikan Islam masih berada pada
wilayahnya masing-masing, sehingga proses pembelajarannya bersifat parsial dan
terfragmentasi antara sains wahyu ilahi dan sains-sains alam. Padahal, menurut
terminologi filsafat Islam, Tuhan menurunkan Alquran-Nya dalam bentuk: Alquran
yang tertulis (recorded qur’an), yaitu wahyu yang tertulis dalam
lembaran buku yang dibaca oleh ummat Islam setiap hari: dan Alquran yang
terhampar (created quran), yaitu alam semesta, jagat raya atau kosmologi
ini.
Dalam
pelaksanaanya memang mesti ada prioritas proses pembelajaran antara kedua jenis
keilmuan di atas. Kedudukan kategori sain-sains tersebut, apabla dibuat skema
adalah sebagai berikut:
Skema
1: Segitiga Sains
Ketiga
kutub tersebut merupakan satu kesatuan dan dari padanya diharapkan dapat
diperoleh pengertian, penghayatan dan pengamalan ke arah terbentuknya
‘intelektualisme muslim” yakni pribadi yang utuh, yang pemikirannya bisa
menyatukan ketiga kutub ilmu tersbut.
Berangkat
dari pola pikir integratif, yaitu menyatukan arti kehidupan dunia dan akhirat,
maka pendidikan umum pada hakikatnya adalah pendidikan agama juga, begitu pula
sebaliknya, pendidikan agama adalah juga pendidikan umum. Idealnya tidak perlu
terjadi persoalan ambivalensi dan dikotomik dalam orientasi pendidikan Islam.
AM. Saefudin[15] mengajukan formula pemikiran kreatif untuk
dapat mengintegrasikan secara padu. Perpaduan itu harus terjadi sebagai proses
pelarutan dan bukan sebagai pencampuran biasa. Perbedaan antara proses
pelarutan dan proses pencampuran secara sederhana dapat dilihat sebagai
berikut.
Skema
2: Integrasi Kurikulum
Proses
Pertautan
Proses Pencampuran
A
= Materi Pendidikan Agama
|
||||
|
||||
Skema
3: Integrasi Ilmu dalam Islam[16]
nilai-nilai
Alquran dapat diaktualisasikan tidak dalam perwujudan rancangan sistem
pendidikan saja, tetapi dalam langkah-langkah operasionalisasinya mesti
berpedoman pada kaidah-kaidah Qurani, sesuai dengan kesatuan tiga serangkai
perangkat tindak yakni motivasi – cara – tujuan.
Dengan
adanya penyatuan ilmu/ sains dengan nilai-nilai ajaran Islam, persoalan dikotomi
akan dapat dicarikan jalan keluarnya. Wawasan ilmu tidak lagi dipisahkan secara
dikotomis dalam pembagian ilmu-ilmu ‘agama’ dan ilmu-ilmu ‘umum, tetapi akan di
bedakan (bukan dipisahkan) menjadi ilmu-ilmu yang menyangkut ayat-ayat
tanziliyyah (ayat-ayat yang tersurat dalam Alquran/ hadits) dan ilmu tentang
ayat kauniyah (ilmu pengetahuan tentang kealaman).
Secara
umum, Kurikulum Pembelajaran yang terintegrasi dengan nilai-nilai Islami pun
disusun mencakup seluruh wawasan keilmuan sehingga akan membawa konsekuensi-konsekuensi
tertentu terhadap struktur, tujuan, materi dan institusi pendidikan yang
disiapkan. Begitu pula secara spesifik strategi belajar mengajar termasuk
model, metode dan pendekatan pembelajaran sebagaimana telah disebutkan beberapa
bentuknya diatas akan menentukan arah pendidikan yang terintegarasi dan
bernuansa Islami.
Secara
spesifik, spesialisasi ilmu yang terdapat dalam proses pembelajaran setidaknya
dapat diadaptasi berdasarkan pada kelompok mata pelajaran Kurikulum Baru
[subdirektorat kurikulum 2006] yang masih dalam proses penggodokan, antara lain
meliputi: agama dan akhlak mulia; kewarganegaraan dan kepribadian; ilmu
pengetahuan dan teknologi; estetika; Jasmani, olahraga dan kesehatan.
Spesialisasi kelompok mata pelajaran tersebut diharapkan dapat terintegrasi
dengan nilai-nilai islami dalam pembelajaran.
Seringkali
kita memahami bahwa ilmu Allah itu terdiri dari ayat-ayat kauniyah dan
ayat-ayat qouliyah, sebenarnya di dalam QS. Fushshilat (41): 53, mengisyaratkan
adanya dua kategori ilmu yang berbeda yaitu ilmu mengenai cakrawala ["afaq"]
dan ilmu mengenai diri manusia [anfusihim].
“Kami
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di segenap ufuk
dan pada diri mereka sendiri”.
Jadi,
Menurut al-Quran ilmu itu bukannya dua macam, kauniyah [ilmu-ilmu alam, nomothettic]
dan qouliyah [ilmu-ilmu theological], tetapi tiga macam. Katakan yang
ketiga itu adalah nafsiyah. Kalau ilmu kauniyah berkenaan dengan hukum
alam, ilmu qauliyah berkenaan dengan hukum Tuhan, dan ilmu nafsiyah berkenaan
dengan makna, nilai dan kesadaran. Ilmu nafsiyah inilah yang disebut sebagai humaniora
[ilmu-ilmu kemanusiaan, heurmeneutic]. Meskipun dalam bahasa arab ilmu nafsiyah
ialah psikologi. Ketiga macam ilmu tersebut bersumber pada ilmu Allah sebagai
satu-satunya sumber kebenaran mutlak, sehingga berbagai derivasi keilmuan
merupakan satu kesatuan bukanlah sebuah dikotomi. Secara skematik ketiga macam
ilmu (kauniyah, Qouliyah dan nafsiyah) dapat terintegrasi dengan kelompok mata
pelajaran sebagai salah satu bentuk spesialisasi integrasi pendidikan islami
dalam pembelajaran.
Skema
4: Integrasi Ilmu terpadu dalam Islam pada Pembelajaran
D.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian diatas, upaya terintegrasinya pendidikan umum dengan nilai-nilai islami
tidak terlepas dari universalitas keilmuan yang harus diterapkan dalam proses
pembelajaran tanpa mengedepankan independensi [mencari-cari perbedaan]
keilmuan. Integrasi pendidikan islami tersebut antara lain:
·
Keutuhan
kerangka nilai islami pada setiap kelompok mata pelajaran terintegrasi secara
menyeluruh [integral-holisitk]. Dengan kata lain antara pelajaran umum
dan agama terintegrasi dalam bentuk: common matter integrated with religious
matter [mengintegrasikan materi pelajaran umum dengan materi pelajaran
pendidikan agama] yakni nilai-nilai islami inklusif dalam penyampaian pelajaran
umum atau sebaliknya religious matter integrated with common matter [mengintegrasikan
materi pelajaran agama dengan mata pelajaran umum] yakni agama tidak
mendeskriditkan ilmu-ilmu umum. Kelompok mata pelajaran yang harus terintegrasi
dengan nilai-nilai Islami dalam pembelajaran tersebut antara lain: agama dan
akhlak mulia; kewarganegaraan dan kepribadian; ilmu pengetahuan dan teknologi;
estetika; Jasmani, olahraga dan kesehatan.
·
Keragaman
model, metode dan pendekatan integrated [terpadu] dengan nilai-nilai
islami sebagai kerangka normatif dapat dijadikan perspektif baru bagi para
pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran. Sehingga pembelajaran mengarah
pada proses leader [mampu memilih bola yang harus dijemput] dan manager
[tahu bagaimana mengelola bola] tanpa terlepas dari kerangka nilai islami.
·
Keterpaduan
penyelenggaraan pendidikan mengharuskan nilai-nilai pendidikan Islami pada
pembelajaran di sekolah teraplikasikan secara integrated dengan kebutuhan
masyarakat dan keluarga. Pada realitasnya integrasi pendidikan dapat menghapus
pendidikan yang bersifat paradoks antara ketiga unsur tersebut sehingga
berimplikasi terhadap peningkatan kualitas (nilai) tanggungjawab moral dan
akhlak siswa.
[1] Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem
Pendidikan Nasional dalam abad 21 (The New Mind Set of Education in The 21sr
Century, 2003. hal 101
[2] Keseluruhan Kecerdasan antara Kecerdasan
Intelektual [IQ], kecerdasan Emosional [EQ], kecerdasan Spritiual [SQ], dan
berpusat (bersumber) pada kecerdasan Religi [RQ]. Kecerdasan komplit hanya
dapat dicapai melalui “sekolah kehidupan” yaitu kehidupan nyata secara utuh.
[3] Ali M dan Luluk Y. R., Paradigma
Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern; Mencarai “Visi BAru” atas
“Realitas Baru” Pendidikan Kita, 2004, hal 273.
[4] Menurut Mulyadi Kertanegara problem dikotomi
ilmu itu antara lain berkenaan dengan: 1] Kesenjangan Sumber Ilmu;
2] Objek-objek ilmu yang dianggap ‘sah’ untuk disiplin
sebuah ilmu; 3] Disintegrasi pada tatanan klasifikasi ilmu; 4] Metodologi
ilmiah; 5] Sulitnya mengintegrasikan berbagai pengalaman manusia,
khususnya indra, intelektual dan intuisi sebagai pengalaman-pengalaman
legitimate dan riil dari manusia. Mulyadi Kertanegara, Integrasi
Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik, 2005. hal 19-31
[5] Imran Siregar, Pendidikan Agama
Terpadu: Studi Kasus SMU Kraksaan Probolinggo Jawa Timur. Riset. hal
76
[6] Pendidikan agama ke depan diarahkan pada
konsep pendidikan terpadu yaitu pendidikan berbasis keluarga atai family
base.
[7] Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan
Pendidikan Nilai, 2004. Hal 119.
[8] Ibid, hal 120
[9] Ali M dan Luluk Y. R., Paradigma
Pendidikan dan Universal di Era Modern dan Post-Modern; Mencapai “Visi Baru”
atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita, 2004, hal 267
[10] Ibid, hal 270
[11] Muhaemin, et. Al., Pemikiram Pendidikan
Islam, Hal 136-138
[12] Al-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa
Asalibuha, hal 273
[13] Al-Syaibani, Falsafah, hal 520-522
[14] Ali M dan Luluk Y. R., PAradigma
Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern; Mencarai “Visi Baru” atas
“Realitas Baru” Pendidikan Kita, 2004, hal 267-274
[15] AM. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran:
Landasan Islamisasi, hal 114
[16] Ali M dan Luluk Y. R., Paradigma
Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern; Mencarai “Visi Baru” atas
“Realitas Baru” Pendidikan Kita, 2004, hal 287